BANTUAN HIDUP DASAR BERDASARKAN
PANDUAN TERBARU TAHUN 2015
Oleh :
Rahmat
Supriyanto
Raden Halasan Situmorang
Pembimbing :
Meta Rosaulina
Hutagalung S.Kep, Ns
PROGRAM
STUDY NERS JALUR TRANSFER
TAHUN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
senantiasa melimpahkan berkatNya sehingga kita semua dalam keadaan sehat
walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga mengucap syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan berkatNya makalah dengan judul
“Bantuan Hidup Dasar Berdasarkan Panduan Terbaru Tahun 2015” ini dapat
terselesaikan.
Penyusun menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan
dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran
dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Atas
perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih
Delitua, 14 Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bantuan Hidup Dasar
....................................................................................... 3
2.1.1
Definisi Bantuan
Hidup Dasar.................................................... 3
2.1.2
Pelaksana Tindakan Bantuan
Hidup Dasar................................. 3
2.1.3
Pedoman Bantuan Hidup Dasar ................................................. 4
2.1.3.1 Edukasi Resusitasi................................................................ 4
2.1.3.2 Basic Life Support................................................................ 5
2.1.3.3 Cardiac Pulmonary Resucitation........................................... 7
2.2 Acute Coronary
Syndrome ..................................................................... 13
2.3 Advance Cardiac
Life Support ............................................................... 13
2.4 Perawatan Pasca
Serangan Jantung Dewasa ........................................... 16
2.5 Special
Sircumtance
.............................................................................. 19
2.5.1 Serangan
Jantung Pada Masa Kehamilan ........................................ 19
2.5.2 Serangan
Jantung Pada Masa Kehamilan: Kelahiran Sesar............... 20
2.5.3 Emulsi Lipid
Intravena ................................................................................... 20
2.6 Pediatric
Advance Life Support
............................................................. 21
BAB III Kesimpulan ........................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kegawatdaruratan merupakan suatu kejadian yang terjadi secara tiba-tiba
yang dapat disebabkan oleh kejadian alam, bencana teknologi, perselisihan atau
kejadian yang disebabkan oleh manusia, dan menuntut suatu penanganan segera.
Kejadian gawat darurat dapat menimpa siapa saja dan terjadi dimana saja1.
Kejadian gawat darurat dapat berupa kecelakaan yang misalnya seperti
kecelakaan kendaraan bermotor, keracunan
obat atau makanan, tenggelam, tersengat listrik, kehilangan darah, dan bahkan
serangan jantung. Serangan jantung merupakan suatu kejadian gawat darurat yang
dapat menyebabkan terjadinyahenti nafas dan henti jantung. Berdasarkan
penelitian dari negara-negara di Eropa, mengatakan bahwa kasus henti jantung
merupakan salah satu penyebab kematian dengan angka kejadian sekitar 700.000
kasus setiap tahunnya2.
Penyakit jantung merupakan penyebab kematian terbesar nomor satu di dunia3.
Pada orang dewasa, penyakit jantung yang paling sering ditemui ialah penyakit
jantung koroner dan gagal jantung4. Dimana, pada tahun 2012 tercatat
angka kematian dunia yang diakibatkan oleh penyakit jantung koroner ialah
berkisar 7,4 juta5. Penyakit jantung koroner dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan listrik yang akhirnya menyebabkan Sudden Cardiac Arrest (SCA)6.
Cardiac arrest
merupakan hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba guna mempertahankan
sirkulasi normal darah yang berfungsi untuk menyuplai oksigen ke otak dan organ
vital lainnya, yang ditandai dengan tidak ditemukan adanya denyut nadi akibat
ketidakmapuan jantung untuk dapat berkontraksi dengan baik6.
Kematian pada cardiac arrest terjadi
ketika jantung secara tiba-tiba berhenti bekerja dengan benar7.
Di Amerika Serikat, layanan gawat darurat medis mengkaji setiap tahunya
terdapat lebih dari 420.000 kasus cardiac
arrest yang terjadi di luar rumah sakit7. Pada tiga terkahir,
tercatat sebanyak 60.000 kejadian Out of
Hospital Cardiac Arrest (OHCA) pada beberapa negara yang bergabung dalam
Asia-Pasifik salah satunya Indonesia8. Di Indonesia, data prevalensi
yang didapatkan untuk penderita cardiac
arrest tiap tahunnya belum jelas, tetapi diperkirakan terdapat sekitar
10.000 warga Indonesia yang mengalami cardiac
arrest4.
Kelangsungan hidup korban OCHA, akan jauh lebih baik jika mendapatkan Cardiopulmonary Resusciation (CPR)
secepat mungkin baik itu dari pihak Emergency
Medical Service (EMS) ataupun masyarakat umum (bystander)9. Bahkan, berdasarkan data dari American Heart Association (2015)
sebesar 40,1% korban OHCA terselamatkan setelah mendapatkan Resusitasi Jantung
Paru (RJP) oleh bystander10.
Hal ini dikarenakan, sekitar 80% dari OHCA terjadi di rumah dan 20% di tempat
umum, sehingga sangatlah penting peran dari bystander
dalam memberikan RJP sesegera mungkin terhadap korban OHCA11.
Bantuan Hidup Dasar (BHD) harus diberikan pada setiap korban yang mengalami
perdarahan, henti nafas dan henti jantung. Sehingga, perlu diajarkan mengenai
keterampilan BHD pada siapa saja, khususnya orang dewasa12.
Seharusnya, semua orang di dunia mengetahui tentang tekhnik dasar pertolongan
pertama dan dapat mengambil pelatihan yang teratur guna memastikan bahwa
pengetahuannya tetap berjalan13.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami bantuan hidup dasar dengan baik maka
penulis memaparkan secara lebih lengkap mengenai pengetahuan tersebut
berdasarkan paduan terbaru tahun 2015 dalam tulisan ini.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Bantuan Hidup Dasar
2.1.1 Definisi bantuan hidup dasar
Bantuan hidup dasar merupakan dasar guna menyelamatkan
nyawa ketika terjadi henti jantung. Aspek dasar dari bantuan hidup dasar adalah
mengenali secara langsung sudden cardiac
arrest (SCD), kemudian mengaktivasi sistem tanggap darurat cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau
resusitasi jantung paru (RJP) sedini mungkin, dan defibrilasi cepat menggunakan
automated external defibrillator
(AED). Pengenalan dini dan memberikan respon terhadap serangan jantung dan
stroke juga dianggap sebagai bagian dari bantuan hidup dasar14.
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan darurat
yang berupaya untuk mengembalikan keadaan henti nafas dan atau henti jantung ke
fungsi optimal, guna mencegah terjadinya kematian biologis. Dengan cara
memberikan bantuan sirkulasi sistemik, beserta ventilasi dan oksigenasi pada
tubuh secara efektif dan optimal hingga didapatkan kembali sirkulasi sistemik
secara spontan15.
2.1.2 Pelaksana tindakan bantuan hidup dasar
Setiap orang dapat menjadi penyelamat untuk korban cardiac arrest. Keterampilan RJP serta
penerapannya sangat tergantung pada pelatihan dan pengalaman yang dimiliki
penyelamat. Dasar dari RJP ialah kompresi dada. Sehingga kompresi dada menjadi
tindakan RJP awal untuk semua korban tanpa memandang usia16.
Selama bertahun-tahun, tindakan RJP hanya dilakukan secara ekslusif oleh dokter
dan profesional kesehatan, namun saat ini tehnik menyelamatkan nyawa tersebut cukup
mudah untuk dilakukan bagi siapa saja yang ingin belajar17.
2.1.3 Pedoman bantuan hidup dasar menurut American
Heart Association 2015
2.1.3.1 Edukasi Resusitasi
a.
Progran AED untuk penolong tidak terlatih dalam komunitas
2015: Program
PAD (Public Access Defibrillator)
untuk pasien dengan Out
Hospital Cardiac Arrest (OHCA) diterapkan di lokasi umum, tempat adanya kemungkinan
pasien serangan jantung relatif tinggi, misalnya bandara dan tempat berolahraga10.
2010: CPR
dan program penggunaan Automated
External Defibrillator (AED) di lokasi umum tempat adanya kemungkinan pasien serangan
jantung terlihat relatif tinggi10.
Alasan:
Terdapat bukti dari penelitian bahwa perbaikan tingkat kelangsungan hidup
pasien setelah serangan jantung bila pendamping melakukan CPR dengan cepat
menggunakan AED. Sehingga akses cepat ke defibrilator merupakan komponen utama.
Program PAD memerlukan 4 komponen penting, yaitu: 1) identifikasi lokasi
penempatan AED; 2) pelatihan penolong yang diantisipasi dalam CPR penggunaan
AED; 3) hubungan terpadu dengan Emergency
Medical Service (EMS) lokalprogram peningkatan
kualitas dan berkelanjutan10.
b.
Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat
2015:Health
Care Provider (HCP) harus
meminta bantuan bila mengetahui korban tidak menunjukkan reaksi, namun akan
lebih praktis bagi HCP untuk melanjutkan dengan menilai pernapasan dan denyut
secara bersamaan sebelum benar-benar mengaktifkan sistem tanggapan darurat10.
2010: HCP harus
memastikan reaksi pasiien sewaktu memeriksanya menentukan apakah napas terhenti
atau tidak normal10.
Alasan:
Perubahan rekomendasi bertujuan untuk meminimalkan penundaan dan mendukung
penilaian serta tanggapan yang cepat dan efisien secara bersamaan, karena
dengan meminimalkan penundaan akan meningkatkan efektifitas dari CPR10.
2.1.3.2 Basic Life Support
a.
Rantai kelangsungan hidup
2015: Rantai
kelangsungan hidup terpisah yang akan mengidentifikasikan jalur yang berbeda
antara pasien yang mengalami serangan jantung di rumah sakit dan yang di luar
rumah sakit10.
Alasan: Pasien
yang mengalami OHCA mengandalkan masyarakat untuk memberikan dukungan. Penolong
tidak terlatih harus mengenali serangan, meminta bantuan dan memulai CPR serta
memberikan defibrilasi hingga tim penyedia layanan medis darurat yang terlatih
mengambil alh lalu memindahkan pasien ke unit gawat darurat dan/atau
laboratorium kateterisasi jantung. Terakhir pasien dipindahkan ke unti
perawatan kritis untuk perawatan lebih lanjut. Sebaliknya pasien yang mengalami
HCA (Hospital
Cardiac Arrest) mengandalkan
sistem pengawasan yang sesuai untuk mencegah serangan jantung. Pasien
mengandalkan interaksi sempurna dari berbagai unit dan layanan institusi serta
bergantung pada tim multidisipliner termasuk dokter, perawat, ahli terapi
pernapasan dan banyak lagi10.
Gambar 1. Rantai kelangsungan hidup HCA dan OHCA
(American Heart Association,2015)
b.
Nalokson
pendamping dalam kondisi darurat yang mengancam jiwa terkait Opioid
2015: Untuk pasien
dengan dugaan ketergantungan opioid atau yang telah diketahui dan tidak
menunjukkan reaksi nafas tidak normal namun terdapat denyut, penolong terlatih
yang tepat perlu memberikan nalokson IM (intramuskular) atau IN (intranasal)10.
Alasan:
Nalokson merupakan opioid antagonis yang memiliki afinitas lebih tinggi pada reseptor opioid dibandingkan dengan
opioid. Reaksi ini akan melawan keadaan overdosis dan membiarkan orang tersebut
bernapas18. Pemberian nalokson juga mudah sehingga penolong non-medis
mampu melakukannya dan juga pada tahun 2014, autoinjector nalokson disetujui
oleh US Food and Drug Administration untuk digunakan oleh penolong tidak
terlatih dan HCP10,18.
Gambar 2. Algoritma gawat darurat (dewasa) yang mengancam jiwa
terkait opioid
(American Heart
Association, 2015)
c.
Batasan gerak tulang belakang
2015: Aplikasi
kolar servikal secara rutin oleh penyedia layanan pertolongan pertama tidak
disarankan. Penyedia pertolongan pertama yang menduga adanya cedera tulang
belakang harus memastikan orang yang cedera tetap berada dalam posisi yang sama
sambil menunggu kedatangan penyedia layanan EMS10.
Alasan:
Penelitian menunjukkan adanya efek negatif seperti bertambahnya tekanan
intrakranium dan penurunan jalan napas dengan penggunaan kolar servikal. Teknik
yang tepat untuk menggunakan kolar servikal pada pasien beresiko tinggi
memerlukan pelatihan yang signifikan agar dilakukan dengan benar10.
2.1.3.3 Cardiac Pulmonary Resucitation
a.
Kecepatan kompresi dada
2015:
Penolong perlu melakukan kompresi dada dengan kecepatan
100 hingga 120/xmenit pada orang dewasa
yang menjadi korban serangan jantung10.
2010:
Pada orang dewasa dilakukan kompresi dada dengan
kecepatan minimal 100/menit10
Alasan:
Jika kecepatan kompresi yang diberikan tidak sesuai atau
sering munculnya gangguan (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi
permenit. Jumlah kompresi dada yang
diberikan permenit saat CPR berlangsung adalah faktor penentu utama kondisi
RSOC (Return of Spontaneous Circulation) dan kelangsungan hidup dengan fungsi
neurologis baik. Jumlah kompresi dada yang diberikan permenit ditentukan oleh
kecepatan kompresi dada serta jumlah dan durasi gangguan dalam kompresi
(misalnya untuk membuka saluran udara, memberikan nafas buatan, memungkinkan
analisis AED)10.
Gambar 3. Pengaruh kecepatan kompresi terhadap jumlah kompresi
yang diberikan
(American Heart
Association,2015).
b.
Kedalaman kompresi dada
2015: Sewaktu
melakukan CPR secara manual, penolong harus
melakukan kompresi dada hingga kedalaman minimum 2 inci (5cm) untuk
dewasa rata-rata, dengan tetap menghindari kedalaman kompresi dada yang
berlebihan (lebih dari 2,4 inci [6cm])10.
2010: Tulang dada
orang dewasa harus ditekan minimal 5cm10.
Alasan:
Kompresi akan menciptakan aliran darah terutama dengan menambah tekanan
intrathoraks yang secara langsung mengkompresi jantung, sehingga menghasilkan
aliran darah dan penyaluran oksigen yang penting ke jantung dan otak. Jika
kedalaman kompresi yang diberikan lebih dari 2,4 inci (6cm) maka dapat
mengakibatkan timbulnya komplikasi10.
c.
Rekoil dada
2015: Sangat penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di
atas dada diantara kompresi guna mendukung rekoil penuh dinding dada pada
pasien dewasa saat mengalami serangan jantung10.
2010: penolong harus membolehkan rekoil penuh dinding dada
setelah kompresi agar jantung terisi sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya
dilakukan10.
Alasan: Rekoil penuh dinding dada terjadi bila tulang dada
kmbali ke posisi alami atau netralnya saa fase dekompresi CPR berlangsung.
Rekoil dinding dada memberikan tekanan intrathoraks yang relatif negatif guna mendorong
pengembalian vena dan aliran darah kardiopulmonari. Jika penolong bertumpu
diatas dada diantara kompresi, akan menghalangi rekoil penuh dinding dada.
Rekoil tidak penuh akan meningkatkan tekanan intrathoraks dan mengurangi
pengembalian vena, tekanan perfusi koroner, dan aliran darah miokardium, serta
dapat mempengaruhi hasil resusitasi10.
.Gambar 4.Rekoil
Dada Penuh
Sehingga dapat dilihat apa yang harus penolong berikan
selama melakukan tindakan BLS 10
:
Gambar 5. Anjuran dan
larangan BLS untuk CPR berkualitas tinggi dewasa
(American Heart Association,2015)
d.
Meminimalkan gangguan dalam kompresi dada
2015: Penolong
harus berupaya meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan permenit10.
2010: Untuk orang
dewasa yang mengalami serangan jantung dan menerima CPR tanpa bantuan udara
lanjutan, perlu untuk melakukan CPR dengan sasaran fraksi kompresi dada dengan
target minimum 60%10.
Alasan:
Fraksi kompresi dada adalah pengukuran kompresi waktu resusitasi total yang
dilakukan kompresi. Peningkatan fraksi kompresi dada dapat diperoleh dengan
meminimalkan jeda dalam kompresi dada. Sasaran optimal untuk fraksi kompresi
dada belum didefinisikan10.
e.
Tanggapan kompresi dada
2015: Menggunakan perangkat umpan
balik audiovisual saat CPR berlangsung untuk pengoptimalan performa CPR secara real-time mungkin perlu dilakukan10.
2010: Perangkat perintah dan umpan
balik CPR baru mungkin bermanfaat untuk melatih penolong dan sebagai bagian
dari strategi keseluruhan untuk meningkatkan kualitas CPR10.
Alasan:Tekhnologi akan
memungkinkan pemantauan, perekaman, dan tanggapan tentang kualitas CPR secara real-time, termasuk parameter fisiologi
pasien dan metrik kinerja penolong. Data penting tersebut dapat digunakan
secara real-time selama resusitasi,
untuk wawancara setelah resusitasi, dan untuk program peningkatan kualitas
diseluruh sistem. Mempertahankan fokus terhadap karakteristik kecepatan dan
kedalaman kompresi, serta rekoil dada dengan tetap meminimalkan gangguan selama
CPR berlangsung adalah tantangan yang sangat sulit, bahkan bagi tenaga
profesional yang sangat terlatih10.
Sehingga dapat digambarkan suatu algoritma BLS terhadap
serangan jantung pada orang dewasa berdasarkan pembaruan tahun 201510:
Gambar 6. Algoritma BLS terhadap serangan
jantung pada orang dewasa
(American Heart
Association,2015)
Adapun tabel
perbandingan elemen utama Basic Life
Saving dewasa, anak-anak, dan bayi berdasarkan pembaruan tahun 2015 10 :
Gambar 7. Ringkasan komponen CPR
berkualitas tinggi untuk penyedia BLS
(American Heart
Association,2015)
2.2Acute
Coronary
Syndrome
a. Troponin
untuk mengidentifikasi pasien yang dapat dipindahkan dengan
aman dari Unit Gawat
Darurat
2015:
Troponin sensitivitas tinggi T dan I
yang diukur pada 0 dan 2 jam tidak boleh digunakan untuk menyingkirkan ACS.
Tapi pengukuran dengan troponin sensitivitas tinggi I kurang dari 99 persentil
yang diukur pada 0 dan 2 jam dapat digunakan bersama stratifikasi beresiko
rendah untuk memastikan peluang dibawah 1% dari kejadian major adversecardiac event (MACE)10
2010:
Jikapemeriksaan marker biologis negatif selama 6 jam sejak
mulai gejala, sebaiknya marker biologis tersebut diukur ulang antara 6-1210.
Alasan:
Mengandalkan hasil uji coba troponin
yang bernilai negatif, baik hanya troponin maupun dikombinasikan dengan
penilaian risiko tidak terstruktur, akan menghasilkan angka MACE yang terlalu
tinggi selama 30 hari. Namun perkiraan yang didasarkan pada hasil uji coba
troponin bernilai negatif, dikombinasikan dengan penilaian risiko terstruktur,
akan menghasilkan risiko di bawah 1% dari MACE selama 30 hari10.
2.3
Advance Cardiac Life Support
a. Teknik Ekstra-Korporeal dan Perangkat Perfusi
Invasif
2015:
Extracorporeal CPR (ECPR) dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif untuk CPR konvensional pada pasien tertentu yang mengalami serangan
jantung dan pada pasien dengan dugaan etiologi serangan jantung yang berpotensi
reversible10.
2010: Tidak terdapat cukup bukti untuk merekomendasikan
penggunaan ECPR secara rutin pada pasien yang mengalami serangan jantung. Namun
dalam kondisi bila ECPR siap tersedia, penggunaanya dapat dipertimbangkan
terutama serangan yang bersifat reversible,
transplantasi jantung maupun revaskularisasi10.
Alasan:
ECPR digunakan untuk menjelaskan
inisiasi sirkulasi ekstra korporeal dan oksigenasi saat resusitasi pasien yang
mengalami serangan jantung berlangsung. Hal ini melibatkan kanulasi pada vena
dan arteri besar.ECPR bertujuan mendukung pasien yang mengalami serangan
jantung sekaligus menangani kondisi yang berpotensi reversible. ECPR adalah proses kompleks yang memerlukan tim yang
sangat terlatih, peralatan khusus, dan dukunagn multidisipliner. Dengan kriteria
inklusi berumur 18-75 tahun dan telah menerima CPR konvensional minimal 10
menit tanpa ROSC10.
b. Vasopresor
untuk resusitasi:
vasopresin
2015:
Perpaduan penggunaan vasopresin dan
epinefrin tidak akan memberikan manfaat apa pun sebagai pengganti epinefrin
dosis standar dalam serangan jantung10.
2010:
Satu dosis vasopresin 40 unit IV secara
intraoseus dapat menggantikan baik dosis pertama maupun keduadari epinefrin
dalam penanganan pasien serangan jantung10.
Alasan:
Pemberian epinefrin dan vasopresin
selama serangan jantung terbukti meningkatkan Return of Spontaneus Circulation (ROSC). Namun tidak ada bukti yang
menyebutkan bahwa pemberian epinefrin dan vasopresin lebih bermanfaat
dibandingkan pemberian epinefrin saja.Untuk memberikan kemudahan, vasopresin
telah dihapus dari algoritma10.
c. Vasopresor
untuk resusitasi: epinefrin
2015:Memberikan
epinefrin segera jika tersedia mungkin perlu dilakukan setelah serangan jantung
akibat ritme awal yang tidak dapat dikejut10
Alasan:
Penelitian observasi terkait serangan
jantung dengan ritme yang tidak dapat dikejut membandingkan epinefrin yang
diberikan pada 1-3 menit dengan epinefrin yang diberikan pada 3 interval
selanjutnya (4-6, 7-9, dan lebih dar 9 menit). Penelitian ini menemukan
keterkaitan antara pemberian epinefrin di awal dan peningkatan ROSC, kelangsungan
hidup setelah Masuk Rumah Sakit (MRS) dan kelangsungan hidup menyeluruh dari
segi neurologi10.
d.
Reperfusi
2015:
Jika pasien STEMI ada dirumah sakit yang tidak mendukung Percutaneus Coronary Intervention (PCI), disarankan pasien
dipindahkan tanpa melakukan fibrinolisis. Bila tidak dapat di pindahkan tepat
waktu maka fibrinolitik dan angiografi dapat menjadi pilihan dalam 3-6 jam
maksimum 24 jam10.
2010:
Pemindahan pasien beresiko tinggi yang
telah menerima reperfusi primer dengan terapi fibrinolitik dapat dilakukan10.
Alasan:
Dalam 15 tahun terakhir, Primary Percutaneus Coronary Intervention (PPCI)
semakin siap tersedia di lapangan dan terbukti dapat meningkatkan hasil secara
wajar dibanding dengan epinefrin. Pemindahan
langsung ke rumah sakit yang mendukung PCI deibanding fibrinolis
mendapat hasil yang sama. Namun pemindahan untuk PPCI menurunkan insiden
pendarahan intrakranium10.
e. Cairan
dan inotropik
pasca-serangan jantung
2015:
Setelah ROSC cairan dan inotropik/
vasopresor harus digunakan untuk menjaga tekanan darah sistolik diatas
seperlima persen dari usia10.
Alasan:
Anak-anak yang mengalami tekanan darah
rendah pasca-ROSC memiliki ketahanan hidup yang buruk setelah dipulangkan dari
rumah sakit dan hasil neurologis yang lebih buruk10.
f. Pengobatan Antiaritmia untuk VF Refraktori
Kejut atau Pulseless VT
2015:
Amiodaron atau lidokain juga disetujui
untuk perawatan VF refraktori kejut atau pVT pada anak10.
2010:
Amiodaron direkomendasikan untuk VF
refraktori kejut atau pVT, lidokain diberikan jika amiodaron tidak ada10.
Alasan:
Dibandingkan dengan amiodaron, lidokain
berhubungan dengan tingkat ROSC yang lebih tinggi dan ketahanan hidup selama 24
jam10.
g. Pengobatan
antiaritmia untuk VF refraktori kejut atau pulseless VT
2015:
Amiodaron atau lidokain juga disetujui
untuk perawatan VF refraktori kejut atau pVT pada anak10.
2010:
Amiodaron direkomendasikan untuk VF
refraktori kejut atau pVT, lidokain diberikan jika amiodaron tidak ada10.
Alasan:
Dibandingkan dengan amiodaron, lidokain
berhubungan dengan tingkat ROSC yang lebih tinggi dan ketahanan hidup selama 24
jam10.
2.4
Perawatan Pasca-Serangan JantungDewasa menurut American Heart Association 2015
a.
Angiografi Koroner
Angiografi koroner harus harus dilakukan secepatnya
(bukan nanti saat dirawat di rumah sakit atau tidak sama sekali) pada pasien
OHCA dengan dugaan serangan etiologi jantung dan elevasi ST pada ECG.
Angiografi koroner darurat perlu dilakukan pada pasien dewasa tertentu
(misalnya, tidak stabil secara fisik maupun hemodinamik) yang tidak sadarkan
dirii setelah OHCA dan diduga sebagai sumber serangan jantung, namun tanpa
elevasi ST pada ECG. Angiografi koroner perlu dilakukan pada pasien
pasca-serangan jantung yang diindikasikan menjalani angiografi koroner,
terlepas dari apakah pasien tersebut berada dalam kondisi tidak sadarkan diri10.
b.
Manajemen suhu yang ditargetkan
Semua pasien dewasa yang tidak sadarkan diri (misalnya,
kurangnya reaksi terhadap perintah verbal) dengan RSOC setelah serangan jantung
harus menjalani TTM, dengan suhu target antara 32oC hingga 36oC
yang dipilih dan diperoleh, lalu dipertahankan agar tetap sama selama minimum
24 jam10.
c.
Melanjutkan manajemen suhu melebihi 24 jam
Mencegah demam secara aktif pada pasien yang tidak
sadarkan diri setelah TTM perlu dilakukan. Dalam beberapa observasi, demam
setelah peningkatan kembali suhu dari TTM dikaitkan dengan cedera neurologis
yang memburuk. Karena mencegah demam setelah TTM relatif tidak membahayakan,
sedangkan demam mungkin terkait dengan bahaya, maka pencegahan demam disarankan10.
d.
Pendinginan di luar rumah sakit
Pendinginan suhu pasien pra-rumah sakit secara rutin
dengan infusi cairan IV dinging setelah RSOC tidak direkomendasikan. Sebelum tahuun
2010, pendinginan suhu pasien dalam kondisi pra-rumah sakit belum dievaluasi
secara ekstensif. Telah diasumsikan sebelumnya bahwa inisiasi pendinginan lebih
awal dapat memberikan manfaat tambahan dan inisiasi pra-rumah sakit juga dapat
memfasilitasi dan mendorong pendinginan lanjutan di rumah sakit. Penelitian
berkualitas tinggi yang dipublikasikan baru-baru ini menunjukkan tidak adanya
manfaat terhadap pendinginan pra-rumah sakit dan juga mengidentifikasikan
potensi komplikasi bila menggunakan cairan IV dingin untuk pendinginan
pra-rumah sakit10.
e.
Tujuan hemodinamik setelah resusitasi
Menghindari dan secepatnya memperbaiki hipotensi (tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg, tekanan rata-rata arteri kurang dari 65
mmHg) mungkin perlu dilakukan saat perawatan pasca-serangan jantung
berlangsung. Penelitian pasien setelah serangan jantung membuktikan bahwa
tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata kurang
dari 65 mmHg terkait dengan angka kematian lebih tinggi dan pemulihan
fungsional yang berkurang, sedangkan tekanan arteri sitolik lebih besar darii
100 mmHg terkait dengan pemulihan yang lebih baik10.
f.
Prognostikasi setelah serangan jantung
Waktu
paling awal untuk memperkirakan hasil neurologis yang buruk menggunakan pemeriksaan
klinis pada pasien yang tidak ditangani dengan TTM adalah 72 jam setelah
serangan jantung, namun kali ini dapat lebih lama setelah serangan jantung jika
sisa dampak sedasi atau paralisis diduga mengacaukan pemeriksaan klinis. Namun,
pada pasien yang ditangani dengan TTM dalam kondisi paralisis atau sedasi dapat
mengacaukan pemeriksaan klinis, sehingga diperlukan waktu tunggu hingga 72 jam
setelah kembali ke kondisi normotermia agar dapat memperkirakan hasil10.
Adapun
temuan klinis yang berkaitan dengan hasil neurologis yang buruk10 :
Gambar 8. Temuan klinis yang berkaitan dengan hasil neurologis yang buruk
(American Heart Association,2015)
g.
Pendonoran organ
Semua
pasien yang menjalani resusitasi dari serangan jantung, namun secara bertahap menarah
ke kematian atau kematian otak akan dievaluasi sebagai calon donor organ.
Pasien yang tdiak mencapai kondisi RSOC dan yang resusitasinya akan dihentikan
dapat dipertimbangkan sebagai calon donor ginjal atau hati dengan ketentuan
tersedianya program pemulihan organ cepat10.
2.5
Special Circumtance
2.5.1 Serangan
jantung pada masa kehamilan
2015:
Prioritas untuk ibu hamil dalam kondisi
serangan jantung adalah pemberian CPR berkualitas tinggi dan pembebasan
kompresi aortokaval. Jika tinggi fundus berada pada atau diatas tinggi pusar,
pergeseran uterin ke kiri secara manual dapat bermanfaat dalam membebaskan
kompresi aortokaval saat kompresi dada berlangsung10.
2010:
Untuk membebaskan kompresi aortokaval
saat kompresi dada berlangsung dan mengoptimalkan kualitas CPR, sebaiknya
pergeseran uterin ke kiri secara manual dilakukan dalam posisi terlentang
terlebih dahulu. Jika tidak berhasil, dan pengganjal yang sesuai tersedia untuk
panggul dan rongga dada, maka penyedia layanan medis dapat dapat
mempertimbangkan pasien pada posisi miring ke kiri sejauh 270-300C10.
Alasan:
Pemahaman atas pentingnya CPR
berkualitas tinggi dan inkompatibilitas kemiringan dengan CPR berkualitas
tinggi telah menuntut penghapusan rekomendasi untuk penggunaan kemiringan dan
penguatan rekomendasi pergeseran uterin secara menyamping10.
2.5.2
Serangan
jantung pada masa kehamilan: kelahiran sesar darurat
2015:
Perimortem
Cesarean Delivery (PMCD) harus
dipertimbangkan 4 menit setelah dimulainya serangan jantung atau upaya
resusitasi pada ibu jika tidak ada ROSC ibu10.
2010:
Kelahiran sesar darurat dapat
dipertimbangkan 4 menit setelah dimulainya serangan jantung ibu jika tidak ada
ROSC10.
Alasan:
PMCD memberikan peluang untuk melakukan
resusitasi terpisah pada janin yang berpotensi hidup dan pembebasan akhir
kompresi aortokaval yang dapat meningkatkan hasil resusitasi Ibu10.
2.5.3
Emulsi lipid
intravena
2015:
Pemberian Intravena Lipid Emulsin (ILE) bersama resusitasi standar perlu
dilakukan bagi pasien neurotoksikosis, serangan jantung akibat anestesi lokal,
atau keracunan obat lain yang gagal menjalani resusitasi10.
2010:
Pemberian ILE diperlukan dalam kondisi
keracunan anestesi lokal10.
Alasan: Terjadi
peningkatan secara klinis dengan pemberian ILE. Jika prognosis pasien yang
gagal menjalani tindakan resusitasi standar sangat buruk, pemberian ILE secara
empiris mungkin diperlukan. ILE akan menyediakan ‘lipid sink’ yang akan mempercepat pengeluaran toksik seperti
buvipacaine pada jaringan di jantung10.
2.6 Pediatric
Advance Life Support
a.
Terapi obat
pasca-serangan jantung: Lidokain
2015:
Tidak terdapat cukup bukti untuk
mendukung penggunaan lidokain secara rutin setelah serangan jantung. Namun,
inisiasi atau kelanjutan lidokain dapat dipertimbangkan segera setelah ROSC
dari serangan jantung akibat VF/pVT10.
Alasan:
Penelitian terbaru menunjukan tidak ada
manfaat ataupun kerugian jangka panjang dalam penggunaan lidokain dalam insiden
VF/pVT secara rutin10.
b. Manajemen
suhu yang ditargetkan
2015: Semua
pasien yang tidak sadarkan diri dengan
ROSC setelah serangan jantung harus menjalani TTM, dengan suhu target 320C-360C.
lalu dipertahankan selama 24 jam.
2010:
Pasien yang tidak sadar dengan ROSC
setelah serangan jantung VF di luar rumah sakit harus menjalani proses
penurunan suhu 320C-340C selama 12-24 jam. Hipotermia
yang diinduksi juga dapat dipertimbangkan untuk pasien dewasa yang tidak
sadarkan diri dengan ROSC setelah HCA dengan ritme awal atau setelah OHCA
dengan ritme awal pada aktivitas fisik tanpa denyut atau asistol10.
Alasan:
TTM
dengan rentang suhu dibanding dengan tanpaTTM yang ditetapkan dengan baik
menunjukan adanya peningkatan dalam hasil neurologis bagi pasien dengan
hipotermia yang diinduksi. Dokter dapat memilih rentangan suhu yang lebih luas10.
c.
Melanjutkan manajemen suhu melebihi 24 jam
2015:
Mencegah demam secara aktif pada pasien
yang tidak sadarkan diri setelah TTM perlu dilakukan10
Alasan:
Demam setelah peningkatan kembali suhu
dari TTM dikaitkan dengan cedera neurologis yang memburuk10.
d.
Tujuanhemodinamik setelah resusitasi
2015:
Menghindari dan secepatnya memperbaiki
hipotensi (sistolik <90 mmHg atau MAP <60 mmHg) perlu dilakukan saat
perawatan pasca jantung10.
Alasan:
Tekanan darah dan MAP merupakan tanda
hemodinamik. Perbaikan hemodinamik akan meningkatkan pemulihan. Karena perfusi
yang baik ke jaringan10
e. Rekomendasi untuk
resusitasi cairan
2015:
Sebelumnya pemberian cairan isotonis IV yang dilakukan capat disetujui sebagai
terapi awal dalam syok sepsis. Untuk anak-anak yang terganggu, bolus cairan
awal 20ml/kgBB dapat diberikan.Namun untuk anak-anak yang mengalami demam pada
lingkungan akses terbatas ke sumber daya perawatan kritis, pemberian cairan
bolus IV harus dilakukan dengan sangat hati-hati10.
Alasan:
Di lingkungan tertentu dengan sumber
daya terbatas, bolus cairan berlebih yang diberikan pada anak-anak yang
mengalami demam dapat mengakibatkan komplikasi bila tidak tersedia peralatan
yang sesuai dan pakar terlatih untuk secara efektif menangani mereka. Perawatan
individu dan penilaian kembali klinis secara berkala akan sering dilakukan10.
f. Atropin untuk intubasi
endotrakeal
2015:
Tidak ada bukti yang mendukung
penggunaan dosis minimum atropin rutin sebagai pengobatan awal mencegah bradikardi
pada intubasi pediatri. Namun jika terjadi bradikardi penggunaannya dianjurkan10.
2010:
Dosis minimum atropin adalah 0,1 mg IV karena ada laporan terjadinya bradikardi
paradoksal yang terjadi pada bayi penerima dosis rendah atropin10.
Alasan:
Atropin mencegah bradikardi dan aritmia
lainnya selama intubasi darurat pada anak-anak. Penelitian terbaru menunjukan
penggunaan atropin dengan dosis kurang dari 0,1 mg tanpa meningkatkan
kemungkinan aritmia10.
BAB III
KESIMPULAN
Bantuan hidup dasar merupakan dasar guna menyelamatkan
nyawa ketika terjadi henti jantung. Aspek dasar dari bantuan hidup dasar adalah
mengenali secara langsung sudden cardiac
arrest (SCD), kemudian mengaktivasi sistem tanggap darurat cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau
resusitasi jantung paru (RJP) sedini mungkin, dan defibrilasi cepat menggunakan
automated external defibrillator
(AED). CPR merupakan tindakan darurat yang berupaya untuk mengembalikan keadaan
henti nafas dan atau henti jantung ke fungsi optimal, guna mencegah terjadinya
kematian biologis.
Sebelum melakukan tindakan CPR penolong haruslah
melakukan pengenalan dini tanda henti jantung
mendadak terlebih dahulu dan segera meminta pertolongan (termasuk
melakukan aktivasi sistem penanggulangan gawat darurat). Dimana tanda-tanda
henti jantung yang harus diketahui oleh penolong adalah hilang kesadaran, tidak
ada respon dan tidak bernafas atau adanya nafas yang tidak normal (gasping)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sudiharto & Sartono. 2011. Basic
Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: CV. Sagung Seto
2.
Bala, Rakhmad & Junadi. 2014. Gambaran Pengetahuan Dan Pelaksanaan
Bantuan Hidup Dasar Perawat Gawat Darurat Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD
Labuang Baji Makasar. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Diagnosis volume 4. ISSN : 2302-1721
3.
WHO. (2012). 10 Caused Death. Dikutip dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs317/en/ pada tanggal 16 Juni 2016
4. Riskesdas. (2013). Jakarta: Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia
5.
WHO. (2015). Dikutip dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/index4.html pada tanggal 16
Juni 2016
6. National Heart Lung And Blood Institute. (2011). What Causes Sudden Cardiac Arrest. National
Institute of Health. Dikutip dari http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/scda/causes pada tanggal 16
juni 2016
7. American Heart Association (2014). About Cardiac Arrest.
Dikutip dari http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/About-Cardiac-Arrest_UCM_307905_Article.jsp pada tanggal 16 juni 2016
8. Hock, Marcus Ong Eng et al. (2014). PAN-Asian Network
Promotes Regional Cardiac Arrest Research. Emergency Physicians International.
Dikutip dari http://www.epijournal.com/articles/129/pan-asian-network-promotes-regional-cardiac-arrest-research
9. Sudden Cardiac Arrest Foundation (2015). Dikutp dari http://www.sca-aware.org/sca-news/aha-releases-2015-heart-and-stroke-statistics pada tanggal 16 juni 2016
10. American Heart Association (2015). American Heart
Association Guidelines 2015 CPR and ECG. Dikutip dari http://eccguidlines.heart.org. pada tanggal 10 juni 2016
11. NHS (2014). Diunduh dari http://www.nhs.uk/Conditions/Accidents-and-first-aid/Pages/The-recovery-position.aspx
12. Frame, Scot B. (2010). PHTLS : Basic And Advanced Prehospital Trauma Life Support.
13. International Federation of Red Cross and Red Crescent
Societies.(2011). International First Aid and Resuscitation Guiidelines 2011.
14. Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Auufderheide TP, Cave DM,
Hazinski MF, Lerner EB, Rea TD, Sayre MR, Swor RA. (2010). Part 5: Adult basic
life support: American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardioovascular Care. Circulation.;122(suppl3):S685-S705
15.
Pro Emergency.(2011). Basic Trauma
Life Support. Cibinong: Pro Emergency
16.
Travers AH, Rea TD, Bobrow BJ, Edelson DP, Berg RA, Sayre MR, Berg MD,
Chaneides L, O’connor RE, Swor RA. Part 4: CPR overview: (2010) American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardioovascular Care. Circulation.;2010;122(suppl3):S676-S784
17. American Heart Association (2011). CPR & Sudden Cardiac
Arrest (SCA) Fact Sheet, CPR Statistic. Dikutip dari http://www.heart.org/HEARTORG/CPRAndECC/WhatisCPR/CPRFactsandStats/CPR-Statistic_UCM_307905_Article.jsp pada tanggal 16 juni 2016
18. San Francisco Department of Public
Health. Naloxone for Opioid Safety: A
Provider Guide to Prescribing Naloxone to Patient Who Use Opioids. January.
2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar