Minggu, 29 Januari 2017

BANTUAN HIDUP DASAR BERDASARKAN PANDUAN TERBARU TAHUN 2015


BANTUAN HIDUP DASAR BERDASARKAN PANDUAN TERBARU TAHUN 2015

Oleh :
Rahmat Supriyanto
Raden Halasan Situmorang

Pembimbing :
Meta Rosaulina Hutagalung S.Kep, Ns










PROGRAM STUDY NERS JALUR TRANSFER
TAHUN 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah senantiasa melimpahkan berkatNya  sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan berkatNya makalah dengan judul “Bantuan Hidup Dasar Berdasarkan Panduan Terbaru Tahun 2015” ini dapat terselesaikan.
Penyusun menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih









            Delitua, 14 Oktober 2016


                                                                                                         Penyusun

DAFTAR ISI


Halaman
HALAMAN JUDUL  ..........................................................................................                 i
KATA PENGANTAR .........................................................................................                ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................               iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................                1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Bantuan Hidup Dasar .......................................................................................      3
2.1.1        Definisi Bantuan Hidup Dasar....................................................                3
2.1.2        Pelaksana Tindakan Bantuan Hidup Dasar.................................                3
2.1.3        Pedoman Bantuan Hidup Dasar .................................................                4
2.1.3.1  Edukasi Resusitasi................................................................                4
2.1.3.2  Basic Life Support................................................................                5
2.1.3.3  Cardiac Pulmonary Resucitation...........................................                7
2.2 Acute Coronary Syndrome .....................................................................                   13
2.3 Advance Cardiac Life Support ...............................................................                   13
2.4 Perawatan Pasca Serangan Jantung Dewasa ...........................................              16
2.5 Special Sircumtance ..............................................................................              19
2.5.1 Serangan Jantung Pada Masa Kehamilan ........................................                   19
2.5.2 Serangan Jantung Pada Masa Kehamilan: Kelahiran Sesar...............                   20
2.5.3 Emulsi Lipid Intravena ...................................................................................   20
2.6 Pediatric Advance Life Support .............................................................              21
BAB III Kesimpulan ...........................................................................................              24
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Kegawatdaruratan merupakan suatu kejadian yang terjadi secara tiba-tiba yang dapat disebabkan oleh kejadian alam, bencana teknologi, perselisihan atau kejadian yang disebabkan oleh manusia, dan menuntut suatu penanganan segera. Kejadian gawat darurat dapat menimpa siapa saja dan  terjadi dimana saja1.
Kejadian gawat darurat dapat berupa kecelakaan yang misalnya seperti kecelakaan kendaraan  bermotor, keracunan obat atau makanan, tenggelam, tersengat listrik, kehilangan darah, dan bahkan serangan jantung. Serangan jantung merupakan suatu kejadian gawat darurat yang dapat menyebabkan terjadinyahenti nafas dan henti jantung. Berdasarkan penelitian dari negara-negara di Eropa, mengatakan bahwa kasus henti jantung merupakan salah satu penyebab kematian dengan angka kejadian sekitar 700.000 kasus setiap tahunnya2.
Penyakit jantung merupakan penyebab kematian terbesar nomor satu di dunia3. Pada orang dewasa, penyakit jantung yang paling sering ditemui ialah penyakit jantung koroner dan gagal jantung4. Dimana, pada tahun 2012 tercatat angka kematian dunia yang diakibatkan oleh penyakit jantung koroner ialah berkisar 7,4 juta5. Penyakit jantung koroner dapat mengakibatkan terjadinya gangguan listrik yang akhirnya menyebabkan Sudden Cardiac Arrest (SCA)6.
Cardiac arrest merupakan hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba guna mempertahankan sirkulasi normal darah yang berfungsi untuk menyuplai oksigen ke otak dan organ vital lainnya, yang ditandai dengan tidak ditemukan adanya denyut nadi akibat ketidakmapuan jantung untuk dapat berkontraksi dengan baik6. Kematian pada cardiac arrest terjadi ketika jantung secara tiba-tiba berhenti bekerja dengan benar7.
Di Amerika Serikat, layanan gawat darurat medis mengkaji setiap tahunya terdapat lebih dari 420.000 kasus cardiac arrest yang terjadi di luar rumah sakit7. Pada tiga terkahir, tercatat sebanyak 60.000 kejadian Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) pada beberapa negara yang bergabung dalam Asia-Pasifik salah satunya Indonesia8. Di Indonesia, data prevalensi yang didapatkan untuk penderita cardiac arrest tiap tahunnya belum jelas, tetapi diperkirakan terdapat sekitar 10.000 warga Indonesia yang mengalami cardiac arrest4.
Kelangsungan hidup korban OCHA, akan jauh lebih baik jika mendapatkan Cardiopulmonary Resusciation (CPR) secepat mungkin baik itu dari pihak Emergency Medical Service (EMS) ataupun masyarakat umum (bystander)9. Bahkan, berdasarkan data dari American Heart Association (2015) sebesar 40,1% korban OHCA terselamatkan setelah mendapatkan Resusitasi Jantung Paru (RJP) oleh bystander10. Hal ini dikarenakan, sekitar 80% dari OHCA terjadi di rumah dan 20% di tempat umum, sehingga sangatlah penting peran dari bystander dalam memberikan RJP sesegera mungkin terhadap korban OHCA11.
Bantuan Hidup Dasar (BHD) harus diberikan pada setiap korban yang mengalami perdarahan, henti nafas dan henti jantung. Sehingga, perlu diajarkan mengenai keterampilan BHD pada siapa saja, khususnya orang dewasa12. Seharusnya, semua orang di dunia mengetahui tentang tekhnik dasar pertolongan pertama dan dapat mengambil pelatihan yang teratur guna memastikan bahwa pengetahuannya tetap berjalan13.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami bantuan hidup dasar dengan baik maka penulis memaparkan secara lebih lengkap mengenai pengetahuan tersebut berdasarkan paduan terbaru tahun 2015 dalam tulisan ini.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Bantuan Hidup Dasar
2.1.1     Definisi bantuan hidup dasar
Bantuan hidup dasar merupakan dasar guna menyelamatkan nyawa ketika terjadi henti jantung. Aspek dasar dari bantuan hidup dasar adalah mengenali secara langsung sudden cardiac arrest (SCD), kemudian mengaktivasi sistem tanggap darurat cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) sedini mungkin, dan defibrilasi cepat menggunakan automated external defibrillator (AED). Pengenalan dini dan memberikan respon terhadap serangan jantung dan stroke juga dianggap sebagai bagian dari bantuan hidup dasar14.
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan darurat yang berupaya untuk mengembalikan keadaan henti nafas dan atau henti jantung ke fungsi optimal, guna mencegah terjadinya kematian biologis. Dengan cara memberikan bantuan sirkulasi sistemik, beserta ventilasi dan oksigenasi pada tubuh secara efektif dan optimal hingga didapatkan kembali sirkulasi sistemik secara spontan15.
2.1.2     Pelaksana tindakan bantuan hidup dasar
Setiap orang dapat menjadi penyelamat untuk korban cardiac arrest. Keterampilan RJP serta penerapannya sangat tergantung pada pelatihan dan pengalaman yang dimiliki penyelamat. Dasar dari RJP ialah kompresi dada. Sehingga kompresi dada menjadi tindakan RJP awal untuk semua korban tanpa memandang usia16.
Selama bertahun-tahun, tindakan RJP  hanya dilakukan secara ekslusif oleh dokter dan profesional kesehatan, namun saat ini tehnik menyelamatkan nyawa tersebut cukup mudah untuk dilakukan bagi siapa saja yang ingin belajar17.
2.1.3   Pedoman bantuan hidup dasar menurut American Heart Association 2015
2.1.3.1   Edukasi Resusitasi
a.      Progran AED untuk penolong tidak terlatih dalam komunitas
2015: Program PAD (Public Access Defibrillator) untuk pasien dengan Out Hospital Cardiac Arrest (OHCA) diterapkan di lokasi umum, tempat adanya kemungkinan pasien serangan jantung relatif tinggi, misalnya bandara dan tempat berolahraga10.
2010: CPR dan program penggunaan Automated External Defibrillator (AED) di lokasi umum tempat adanya kemungkinan pasien serangan jantung terlihat relatif tinggi10.
Alasan: Terdapat bukti dari penelitian bahwa perbaikan tingkat kelangsungan hidup pasien setelah serangan jantung bila pendamping melakukan CPR dengan cepat menggunakan AED. Sehingga akses cepat ke defibrilator merupakan komponen utama. Program PAD memerlukan 4 komponen penting, yaitu: 1) identifikasi lokasi penempatan AED; 2) pelatihan penolong yang diantisipasi dalam CPR penggunaan AED; 3) hubungan terpadu dengan Emergency Medical Service (EMS) lokalprogram peningkatan kualitas dan berkelanjutan10.
b.      Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat
2015:Health Care Provider (HCP)  harus meminta bantuan bila mengetahui korban tidak menunjukkan reaksi, namun akan lebih praktis bagi HCP untuk melanjutkan dengan menilai pernapasan dan denyut secara bersamaan sebelum benar-benar mengaktifkan sistem tanggapan darurat10.
2010: HCP harus memastikan reaksi pasiien sewaktu memeriksanya menentukan apakah napas terhenti atau tidak normal10.
Alasan: Perubahan rekomendasi bertujuan untuk meminimalkan penundaan dan mendukung penilaian serta tanggapan yang cepat dan efisien secara bersamaan, karena dengan meminimalkan penundaan akan meningkatkan efektifitas dari CPR10.

2.1.3.2  Basic Life Support
a.      Rantai kelangsungan hidup
2015: Rantai kelangsungan hidup terpisah yang akan mengidentifikasikan jalur yang berbeda antara pasien yang mengalami serangan jantung di rumah sakit dan yang di luar rumah sakit10.
Alasan: Pasien yang mengalami OHCA mengandalkan masyarakat untuk memberikan dukungan. Penolong tidak terlatih harus mengenali serangan, meminta bantuan dan memulai CPR serta memberikan defibrilasi hingga tim penyedia layanan medis darurat yang terlatih mengambil alh lalu memindahkan pasien ke unit gawat darurat dan/atau laboratorium kateterisasi jantung. Terakhir pasien dipindahkan ke unti perawatan kritis untuk perawatan lebih lanjut. Sebaliknya pasien yang mengalami HCA (Hospital Cardiac Arrest) mengandalkan sistem pengawasan yang sesuai untuk mencegah serangan jantung. Pasien mengandalkan interaksi sempurna dari berbagai unit dan layanan institusi serta bergantung pada tim multidisipliner termasuk dokter, perawat, ahli terapi pernapasan dan banyak lagi10.
Gambar 1. Rantai kelangsungan hidup HCA dan OHCA
(American Heart Association,2015)
b.       Nalokson pendamping dalam kondisi darurat yang mengancam jiwa terkait Opioid
2015: Untuk pasien dengan dugaan ketergantungan opioid atau yang telah diketahui dan tidak menunjukkan reaksi nafas tidak normal namun terdapat denyut, penolong terlatih yang tepat perlu memberikan nalokson IM (intramuskular) atau IN (intranasal)10.
Alasan: Nalokson merupakan opioid antagonis yang memiliki afinitas lebih tinggi  pada reseptor opioid dibandingkan dengan opioid. Reaksi ini akan melawan keadaan overdosis dan membiarkan orang tersebut bernapas18. Pemberian nalokson juga mudah sehingga penolong non-medis mampu melakukannya dan juga pada tahun 2014, autoinjector nalokson disetujui oleh US Food and Drug Administration untuk digunakan oleh penolong tidak terlatih dan HCP10,18.
Gambar 2. Algoritma gawat darurat (dewasa) yang mengancam jiwa terkait opioid
(American Heart Association, 2015)
c.       Batasan gerak tulang belakang
2015: Aplikasi kolar servikal secara rutin oleh penyedia layanan pertolongan pertama tidak disarankan. Penyedia pertolongan pertama yang menduga adanya cedera tulang belakang harus memastikan orang yang cedera tetap berada dalam posisi yang sama sambil menunggu kedatangan penyedia layanan EMS10.
Alasan: Penelitian menunjukkan adanya efek negatif seperti bertambahnya tekanan intrakranium dan penurunan jalan napas dengan penggunaan kolar servikal. Teknik yang tepat untuk menggunakan kolar servikal pada pasien beresiko tinggi memerlukan pelatihan yang signifikan agar dilakukan dengan benar10.
2.1.3.3   Cardiac Pulmonary Resucitation
a.      Kecepatan kompresi dada
2015: Penolong perlu melakukan kompresi dada dengan kecepatan 100 hingga 120/xmenit  pada orang dewasa yang menjadi korban serangan jantung10.
2010: Pada orang dewasa dilakukan kompresi dada dengan kecepatan minimal 100/menit10
Alasan: Jika kecepatan kompresi yang diberikan tidak sesuai atau sering munculnya gangguan (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi permenit.  Jumlah kompresi dada yang diberikan permenit saat CPR berlangsung adalah faktor penentu utama kondisi RSOC (Return of Spontaneous Circulation) dan kelangsungan hidup dengan fungsi neurologis baik. Jumlah kompresi dada yang diberikan permenit ditentukan oleh kecepatan kompresi dada serta jumlah dan durasi gangguan dalam kompresi (misalnya untuk membuka saluran udara, memberikan nafas buatan, memungkinkan analisis AED)10.

Gambar 3. Pengaruh kecepatan kompresi terhadap jumlah kompresi yang diberikan
(American Heart Association,2015).
b.      Kedalaman kompresi dada
2015: Sewaktu melakukan CPR secara manual, penolong harus  melakukan kompresi dada hingga kedalaman minimum 2 inci (5cm) untuk dewasa rata-rata, dengan tetap menghindari kedalaman kompresi dada yang berlebihan (lebih dari 2,4 inci [6cm])10.
2010: Tulang dada orang dewasa harus ditekan minimal 5cm10.
Alasan: Kompresi akan menciptakan aliran darah terutama dengan menambah tekanan intrathoraks yang secara langsung mengkompresi jantung, sehingga menghasilkan aliran darah dan penyaluran oksigen yang penting ke jantung dan otak. Jika kedalaman kompresi yang diberikan lebih dari 2,4 inci (6cm) maka dapat mengakibatkan timbulnya komplikasi10.
c.       Rekoil dada
2015: Sangat penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada diantara kompresi guna mendukung rekoil penuh dinding dada pada pasien dewasa saat mengalami serangan jantung10.
2010: penolong harus membolehkan rekoil penuh dinding dada setelah kompresi agar jantung terisi sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya dilakukan10.
Alasan: Rekoil penuh dinding dada terjadi bila tulang dada kmbali ke posisi alami atau netralnya saa fase dekompresi CPR berlangsung. Rekoil dinding dada memberikan tekanan intrathoraks yang relatif negatif guna mendorong pengembalian vena dan aliran darah kardiopulmonari. Jika penolong bertumpu diatas dada diantara kompresi, akan menghalangi rekoil penuh dinding dada. Rekoil tidak penuh akan meningkatkan tekanan intrathoraks dan mengurangi pengembalian vena, tekanan perfusi koroner, dan aliran darah miokardium, serta dapat mempengaruhi hasil resusitasi10.
.Gambar 4.Rekoil Dada Penuh



Sehingga dapat dilihat apa yang harus penolong berikan selama melakukan tindakan BLS 10  :
Gambar 5. Anjuran dan larangan BLS untuk CPR berkualitas tinggi dewasa
(American Heart Association,2015)
d.      Meminimalkan gangguan dalam kompresi dada
2015: Penolong harus berupaya meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan permenit10.
2010: Untuk orang dewasa yang mengalami serangan jantung dan menerima CPR tanpa bantuan udara lanjutan, perlu untuk melakukan CPR dengan sasaran fraksi kompresi dada dengan target minimum 60%10.
Alasan: Fraksi kompresi dada adalah pengukuran kompresi waktu resusitasi total yang dilakukan kompresi. Peningkatan fraksi kompresi dada dapat diperoleh dengan meminimalkan jeda dalam kompresi dada. Sasaran optimal untuk fraksi kompresi dada belum didefinisikan10.
e.         Tanggapan kompresi dada
2015: Menggunakan perangkat umpan balik audiovisual saat CPR berlangsung untuk pengoptimalan performa CPR secara real-time mungkin perlu dilakukan10.
2010: Perangkat perintah dan umpan balik CPR baru mungkin bermanfaat untuk melatih penolong dan sebagai bagian dari strategi keseluruhan untuk meningkatkan kualitas CPR10.
Alasan:Tekhnologi akan memungkinkan pemantauan, perekaman, dan tanggapan tentang kualitas CPR secara real-time, termasuk parameter fisiologi pasien dan metrik kinerja penolong. Data penting tersebut dapat digunakan secara real-time selama resusitasi, untuk wawancara setelah resusitasi, dan untuk program peningkatan kualitas diseluruh sistem. Mempertahankan fokus terhadap karakteristik kecepatan dan kedalaman kompresi, serta rekoil dada dengan tetap meminimalkan gangguan selama CPR berlangsung adalah tantangan yang sangat sulit, bahkan bagi tenaga profesional yang sangat terlatih10.
Sehingga dapat digambarkan suatu algoritma BLS terhadap serangan jantung pada orang dewasa berdasarkan pembaruan tahun 201510:
Gambar 6. Algoritma BLS terhadap serangan jantung pada orang dewasa
(American Heart Association,2015)
Adapun tabel perbandingan elemen utama Basic Life Saving dewasa, anak-anak, dan bayi berdasarkan pembaruan tahun 2015 10 :
Gambar 7. Ringkasan komponen CPR berkualitas tinggi untuk penyedia BLS
(American Heart Association,2015)

2.2Acute Coronary Syndrome
a.      Troponin untuk mengidentifikasi pasien yang dapat dipindahkan dengan aman dari Unit Gawat Darurat
2015: Troponin sensitivitas tinggi T dan I yang diukur pada 0 dan 2 jam tidak boleh digunakan untuk menyingkirkan ACS. Tapi pengukuran dengan troponin sensitivitas tinggi I kurang dari 99 persentil yang diukur pada 0 dan 2 jam dapat digunakan bersama stratifikasi beresiko rendah untuk memastikan peluang dibawah 1% dari kejadian major adversecardiac event (MACE)10
2010: Jikapemeriksaan  marker biologis negatif selama 6 jam sejak mulai gejala, sebaiknya marker biologis tersebut diukur ulang antara 6-1210.
Alasan: Mengandalkan hasil uji coba troponin yang bernilai negatif, baik hanya troponin maupun dikombinasikan dengan penilaian risiko tidak terstruktur, akan menghasilkan angka MACE yang terlalu tinggi selama 30 hari. Namun perkiraan yang didasarkan pada hasil uji coba troponin bernilai negatif, dikombinasikan dengan penilaian risiko terstruktur, akan menghasilkan risiko di bawah 1% dari MACE selama 30 hari10.
2.3         Advance Cardiac Life Support
a.       Teknik Ekstra-Korporeal dan Perangkat Perfusi Invasif
2015: Extracorporeal CPR (ECPR) dapat dipertimbangkan sebagai alternatif untuk CPR konvensional pada pasien tertentu yang mengalami serangan jantung dan pada pasien dengan dugaan etiologi serangan jantung yang berpotensi reversible10.
2010: Tidak terdapat cukup bukti untuk merekomendasikan penggunaan ECPR secara rutin pada pasien yang mengalami serangan jantung. Namun dalam kondisi bila ECPR siap tersedia, penggunaanya dapat dipertimbangkan terutama serangan yang bersifat reversible, transplantasi jantung maupun revaskularisasi10.
Alasan: ECPR digunakan untuk menjelaskan inisiasi sirkulasi ekstra korporeal dan oksigenasi saat resusitasi pasien yang mengalami serangan jantung berlangsung. Hal ini melibatkan kanulasi pada vena dan arteri besar.ECPR bertujuan mendukung pasien yang mengalami serangan jantung sekaligus menangani kondisi yang berpotensi reversible. ECPR adalah proses kompleks yang memerlukan tim yang sangat terlatih, peralatan khusus, dan dukunagn multidisipliner. Dengan kriteria inklusi berumur 18-75 tahun dan telah menerima CPR konvensional minimal 10 menit tanpa ROSC10.
b.      Vasopresor untuk resusitasi: vasopresin
2015: Perpaduan penggunaan vasopresin dan epinefrin tidak akan memberikan manfaat apa pun sebagai pengganti epinefrin dosis standar dalam serangan jantung10.
2010: Satu dosis vasopresin 40 unit IV secara intraoseus dapat menggantikan baik dosis pertama maupun keduadari epinefrin dalam penanganan pasien serangan jantung10.
Alasan: Pemberian epinefrin dan vasopresin selama serangan jantung terbukti meningkatkan Return of Spontaneus Circulation (ROSC). Namun tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa pemberian epinefrin dan vasopresin lebih bermanfaat dibandingkan pemberian epinefrin saja.Untuk memberikan kemudahan, vasopresin telah dihapus dari algoritma10.
c.    Vasopresor untuk resusitasi: epinefrin
2015:Memberikan epinefrin segera jika tersedia mungkin perlu dilakukan setelah serangan jantung akibat ritme awal yang tidak dapat dikejut10
Alasan: Penelitian observasi terkait serangan jantung dengan ritme yang tidak dapat dikejut membandingkan epinefrin yang diberikan pada 1-3 menit dengan epinefrin yang diberikan pada 3 interval selanjutnya (4-6, 7-9, dan lebih dar 9 menit). Penelitian ini menemukan keterkaitan antara pemberian epinefrin di awal dan peningkatan ROSC, kelangsungan hidup setelah Masuk Rumah Sakit (MRS) dan kelangsungan hidup menyeluruh dari segi neurologi10.
d.      Reperfusi
2015: Jika pasien STEMI ada dirumah sakit  yang tidak mendukung Percutaneus Coronary Intervention (PCI), disarankan pasien dipindahkan tanpa melakukan fibrinolisis. Bila tidak dapat di pindahkan tepat waktu maka fibrinolitik dan angiografi dapat menjadi pilihan dalam 3-6 jam maksimum 24 jam10.
2010: Pemindahan pasien beresiko tinggi yang telah menerima reperfusi primer dengan terapi fibrinolitik dapat dilakukan10.
Alasan: Dalam 15 tahun terakhir, Primary Percutaneus Coronary Intervention (PPCI) semakin siap tersedia di lapangan dan terbukti dapat meningkatkan hasil secara wajar dibanding dengan epinefrin. Pemindahan  langsung ke rumah sakit yang mendukung PCI deibanding fibrinolis mendapat hasil yang sama. Namun pemindahan untuk PPCI menurunkan insiden pendarahan intrakranium10.
e.       Cairan dan inotropik pasca-serangan jantung
2015: Setelah ROSC cairan dan inotropik/ vasopresor harus digunakan untuk menjaga tekanan darah sistolik diatas seperlima persen dari usia10.
Alasan: Anak-anak yang mengalami tekanan darah rendah pasca-ROSC memiliki ketahanan hidup yang buruk setelah dipulangkan dari rumah sakit dan hasil neurologis yang lebih buruk10.


f.        Pengobatan Antiaritmia untuk VF Refraktori Kejut atau Pulseless VT
2015: Amiodaron atau lidokain juga disetujui untuk perawatan VF refraktori kejut atau pVT pada anak10.
2010: Amiodaron direkomendasikan untuk VF refraktori kejut atau pVT, lidokain diberikan jika amiodaron tidak ada10.
Alasan: Dibandingkan dengan amiodaron, lidokain berhubungan dengan tingkat ROSC yang lebih tinggi dan ketahanan hidup selama 24 jam10.
g.      Pengobatan antiaritmia untuk VF refraktori kejut atau pulseless VT
2015: Amiodaron atau lidokain juga disetujui untuk perawatan VF refraktori kejut atau pVT pada anak10.
2010: Amiodaron direkomendasikan untuk VF refraktori kejut atau pVT, lidokain diberikan jika amiodaron tidak ada10.
Alasan: Dibandingkan dengan amiodaron, lidokain berhubungan dengan tingkat ROSC yang lebih tinggi dan ketahanan hidup selama 24 jam10.
2.4              Perawatan Pasca-Serangan JantungDewasa menurut American Heart Association 2015
a.                   Angiografi Koroner
Angiografi koroner harus harus dilakukan secepatnya (bukan nanti saat dirawat di rumah sakit atau tidak sama sekali) pada pasien OHCA dengan dugaan serangan etiologi jantung dan elevasi ST pada ECG. Angiografi koroner darurat perlu dilakukan pada pasien dewasa tertentu (misalnya, tidak stabil secara fisik maupun hemodinamik) yang tidak sadarkan dirii setelah OHCA dan diduga sebagai sumber serangan jantung, namun tanpa elevasi ST pada ECG. Angiografi koroner perlu dilakukan pada pasien pasca-serangan jantung yang diindikasikan menjalani angiografi koroner, terlepas dari apakah pasien tersebut berada dalam kondisi tidak sadarkan diri10.
b.                  Manajemen suhu yang ditargetkan
Semua pasien dewasa yang tidak sadarkan diri (misalnya, kurangnya reaksi terhadap perintah verbal) dengan RSOC setelah serangan jantung harus menjalani TTM, dengan suhu target antara 32oC hingga 36oC yang dipilih dan diperoleh, lalu dipertahankan agar tetap sama selama minimum 24 jam10.
c.                   Melanjutkan manajemen suhu melebihi 24 jam
Mencegah demam secara aktif pada pasien yang tidak sadarkan diri setelah TTM perlu dilakukan. Dalam beberapa observasi, demam setelah peningkatan kembali suhu dari TTM dikaitkan dengan cedera neurologis yang memburuk. Karena mencegah demam setelah TTM relatif tidak membahayakan, sedangkan demam mungkin terkait dengan bahaya, maka pencegahan demam disarankan10.
d.                   Pendinginan di luar rumah sakit
Pendinginan suhu pasien pra-rumah sakit secara rutin dengan infusi cairan IV dinging setelah RSOC tidak direkomendasikan. Sebelum tahuun 2010, pendinginan suhu pasien dalam kondisi pra-rumah sakit belum dievaluasi secara ekstensif. Telah diasumsikan sebelumnya bahwa inisiasi pendinginan lebih awal dapat memberikan manfaat tambahan dan inisiasi pra-rumah sakit juga dapat memfasilitasi dan mendorong pendinginan lanjutan di rumah sakit. Penelitian berkualitas tinggi yang dipublikasikan baru-baru ini menunjukkan tidak adanya manfaat terhadap pendinginan pra-rumah sakit dan juga mengidentifikasikan potensi komplikasi bila menggunakan cairan IV dingin untuk pendinginan pra-rumah sakit10.


e.                   Tujuan hemodinamik setelah resusitasi
Menghindari dan secepatnya memperbaiki hipotensi (tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg, tekanan rata-rata arteri kurang dari 65 mmHg) mungkin perlu dilakukan saat perawatan pasca-serangan jantung berlangsung. Penelitian pasien setelah serangan jantung membuktikan bahwa tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata kurang dari 65 mmHg terkait dengan angka kematian lebih tinggi dan pemulihan fungsional yang berkurang, sedangkan tekanan arteri sitolik lebih besar darii 100 mmHg terkait dengan pemulihan yang lebih baik10.
f.                    Prognostikasi setelah serangan jantung
Waktu paling awal untuk memperkirakan hasil neurologis yang buruk menggunakan pemeriksaan klinis pada pasien yang tidak ditangani dengan TTM adalah 72 jam setelah serangan jantung, namun kali ini dapat lebih lama setelah serangan jantung jika sisa dampak sedasi atau paralisis diduga mengacaukan pemeriksaan klinis. Namun, pada pasien yang ditangani dengan TTM dalam kondisi paralisis atau sedasi dapat mengacaukan pemeriksaan klinis, sehingga diperlukan waktu tunggu hingga 72 jam setelah kembali ke kondisi normotermia agar dapat memperkirakan hasil10.
Adapun temuan klinis yang berkaitan dengan hasil neurologis yang buruk10 :
Gambar 8. Temuan klinis yang berkaitan dengan hasil neurologis yang buruk
(American Heart Association,2015)
g.                   Pendonoran organ
Semua pasien yang menjalani resusitasi dari serangan jantung, namun secara bertahap menarah ke kematian atau kematian otak akan dievaluasi sebagai calon donor organ. Pasien yang tdiak mencapai kondisi RSOC dan yang resusitasinya akan dihentikan dapat dipertimbangkan sebagai calon donor ginjal atau hati dengan ketentuan tersedianya program pemulihan organ cepat10.
2.5     Special Circumtance
2.5.1     Serangan jantung pada masa kehamilan
2015: Prioritas untuk ibu hamil dalam kondisi serangan jantung adalah pemberian CPR berkualitas tinggi dan pembebasan kompresi aortokaval. Jika tinggi fundus berada pada atau diatas tinggi pusar, pergeseran uterin ke kiri secara manual dapat bermanfaat dalam membebaskan kompresi aortokaval saat kompresi dada berlangsung10.
2010: Untuk membebaskan kompresi aortokaval saat kompresi dada berlangsung dan mengoptimalkan kualitas CPR, sebaiknya pergeseran uterin ke kiri secara manual dilakukan dalam posisi terlentang terlebih dahulu. Jika tidak berhasil, dan pengganjal yang sesuai tersedia untuk panggul dan rongga dada, maka penyedia layanan medis dapat dapat mempertimbangkan pasien pada posisi miring ke kiri sejauh 270-300C10.
Alasan: Pemahaman atas pentingnya CPR berkualitas tinggi dan inkompatibilitas kemiringan dengan CPR berkualitas tinggi telah menuntut penghapusan rekomendasi untuk penggunaan kemiringan dan penguatan rekomendasi pergeseran uterin secara menyamping10.
2.5.2     Serangan jantung pada masa kehamilan: kelahiran sesar darurat
2015: Perimortem Cesarean Delivery (PMCD) harus dipertimbangkan 4 menit setelah dimulainya serangan jantung atau upaya resusitasi pada ibu jika tidak ada ROSC ibu10.
2010: Kelahiran sesar darurat dapat dipertimbangkan 4 menit setelah dimulainya serangan jantung ibu jika tidak ada ROSC10.
Alasan: PMCD memberikan peluang untuk melakukan resusitasi terpisah pada janin yang berpotensi hidup dan pembebasan akhir kompresi aortokaval yang dapat meningkatkan hasil resusitasi Ibu10.
2.5.3     Emulsi lipid intravena
2015: Pemberian Intravena Lipid Emulsin (ILE) bersama resusitasi standar perlu dilakukan bagi pasien neurotoksikosis, serangan jantung akibat anestesi lokal, atau keracunan obat lain yang gagal menjalani resusitasi10.
2010: Pemberian ILE diperlukan dalam kondisi keracunan anestesi lokal10.
Alasan: Terjadi peningkatan secara klinis dengan pemberian ILE. Jika prognosis pasien yang gagal menjalani tindakan resusitasi standar sangat buruk, pemberian ILE secara empiris mungkin diperlukan. ILE akan menyediakan ‘lipid sink’ yang akan mempercepat pengeluaran toksik seperti buvipacaine pada jaringan di jantung10.
2.6  Pediatric Advance Life Support
a.                  Terapi obat pasca-serangan jantung: Lidokain
2015: Tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung penggunaan lidokain secara rutin setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau kelanjutan lidokain dapat dipertimbangkan segera setelah ROSC dari serangan jantung akibat VF/pVT10.
Alasan: Penelitian terbaru menunjukan tidak ada manfaat ataupun kerugian jangka panjang dalam penggunaan lidokain dalam insiden VF/pVT secara rutin10.
b.   Manajemen suhu yang ditargetkan
2015: Semua pasien  yang tidak sadarkan diri dengan ROSC setelah serangan jantung harus menjalani TTM, dengan suhu target 320C-360C. lalu dipertahankan selama 24 jam.
2010: Pasien yang tidak sadar dengan ROSC setelah serangan jantung VF di luar rumah sakit harus menjalani proses penurunan suhu 320C-340C selama 12-24 jam. Hipotermia yang diinduksi juga dapat dipertimbangkan untuk pasien dewasa yang tidak sadarkan diri dengan ROSC setelah HCA dengan ritme awal atau setelah OHCA dengan ritme awal pada aktivitas fisik tanpa denyut atau asistol10.
Alasan: TTM dengan rentang suhu dibanding dengan tanpaTTM yang ditetapkan dengan baik menunjukan adanya peningkatan dalam hasil neurologis bagi pasien dengan hipotermia yang diinduksi. Dokter dapat memilih rentangan suhu yang lebih luas10.

c.                    Melanjutkan manajemen suhu melebihi 24 jam
2015: Mencegah demam secara aktif pada pasien yang tidak sadarkan diri setelah TTM perlu dilakukan10
Alasan: Demam setelah peningkatan kembali suhu dari TTM dikaitkan dengan cedera neurologis yang memburuk10.
d.    Tujuanhemodinamik setelah resusitasi
2015: Menghindari dan secepatnya memperbaiki hipotensi (sistolik <90 mmHg atau MAP <60 mmHg) perlu dilakukan saat perawatan pasca jantung10.
Alasan: Tekanan darah dan MAP merupakan tanda hemodinamik. Perbaikan hemodinamik akan meningkatkan pemulihan. Karena perfusi yang baik ke jaringan10
e.     Rekomendasi untuk resusitasi cairan
2015: Sebelumnya pemberian cairan isotonis IV yang dilakukan capat disetujui sebagai terapi awal dalam syok sepsis. Untuk anak-anak yang terganggu, bolus cairan awal 20ml/kgBB dapat diberikan.Namun untuk anak-anak yang mengalami demam pada lingkungan akses terbatas ke sumber daya perawatan kritis, pemberian cairan bolus IV harus dilakukan dengan sangat hati-hati10.
Alasan: Di lingkungan tertentu dengan sumber daya terbatas, bolus cairan berlebih yang diberikan pada anak-anak yang mengalami demam dapat mengakibatkan komplikasi bila tidak tersedia peralatan yang sesuai dan pakar terlatih untuk secara efektif menangani mereka. Perawatan individu dan penilaian kembali klinis secara berkala akan sering dilakukan10.


f.     Atropin untuk intubasi endotrakeal
2015: Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan dosis minimum atropin rutin sebagai pengobatan awal mencegah bradikardi pada intubasi pediatri. Namun jika terjadi bradikardi penggunaannya dianjurkan10.
2010: Dosis minimum atropin adalah 0,1 mg IV karena ada laporan terjadinya bradikardi paradoksal yang terjadi pada bayi penerima dosis rendah atropin10.
Alasan: Atropin mencegah bradikardi dan aritmia lainnya selama intubasi darurat pada anak-anak. Penelitian terbaru menunjukan penggunaan atropin dengan dosis kurang dari 0,1 mg tanpa meningkatkan kemungkinan aritmia10.














BAB III
KESIMPULAN
Bantuan hidup dasar merupakan dasar guna menyelamatkan nyawa ketika terjadi henti jantung. Aspek dasar dari bantuan hidup dasar adalah mengenali secara langsung sudden cardiac arrest (SCD), kemudian mengaktivasi sistem tanggap darurat cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) sedini mungkin, dan defibrilasi cepat menggunakan automated external defibrillator (AED). CPR merupakan tindakan darurat yang berupaya untuk mengembalikan keadaan henti nafas dan atau henti jantung ke fungsi optimal, guna mencegah terjadinya kematian biologis.
Sebelum melakukan tindakan CPR penolong haruslah melakukan pengenalan dini tanda henti jantung  mendadak terlebih dahulu dan segera meminta pertolongan (termasuk melakukan aktivasi sistem penanggulangan gawat darurat). Dimana tanda-tanda henti jantung yang harus diketahui oleh penolong adalah hilang kesadaran, tidak ada respon dan tidak bernafas atau adanya nafas yang tidak normal (gasping)


DAFTAR PUSTAKA

1.      Sudiharto & Sartono. 2011. Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: CV. Sagung Seto
2.      Bala, Rakhmad & Junadi. 2014. Gambaran Pengetahuan Dan Pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar Perawat Gawat Darurat Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Labuang Baji Makasar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis volume 4. ISSN : 2302-1721
3.      WHO. (2012). 10 Caused Death. Dikutip dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs317/en/ pada tanggal 16 Juni 2016
4.      Riskesdas. (2013). Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia
5.      WHO. (2015). Dikutip dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/index4.html  pada tanggal 16 Juni 2016
6.      National Heart Lung And Blood Institute. (2011). What Causes Sudden Cardiac Arrest. National Institute of Health. Dikutip dari http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/scda/causes  pada tanggal 16 juni 2016
7.      American Heart Association (2014). About Cardiac Arrest. Dikutip dari http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/About-Cardiac-Arrest_UCM_307905_Article.jsp pada tanggal 16 juni 2016
8.      Hock, Marcus Ong Eng et al. (2014). PAN-Asian Network Promotes Regional Cardiac Arrest Research. Emergency Physicians International. Dikutip dari http://www.epijournal.com/articles/129/pan-asian-network-promotes-regional-cardiac-arrest-research
9.      Sudden Cardiac Arrest Foundation (2015). Dikutp dari http://www.sca-aware.org/sca-news/aha-releases-2015-heart-and-stroke-statistics pada tanggal 16 juni 2016
10.  American Heart Association (2015). American Heart Association Guidelines 2015 CPR and ECG. Dikutip dari http://eccguidlines.heart.org. pada tanggal 10 juni 2016
12.  Frame, Scot B. (2010). PHTLS : Basic And Advanced Prehospital Trauma Life Support.
13.  International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.(2011). International First Aid and Resuscitation Guiidelines 2011.
14.  Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Auufderheide TP, Cave DM, Hazinski MF, Lerner EB, Rea TD, Sayre MR, Swor RA. (2010). Part 5: Adult basic life support: American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardioovascular Care. Circulation.;122(suppl3):S685-S705
15.  Pro Emergency.(2011). Basic Trauma Life Support. Cibinong: Pro Emergency
16.  Travers AH, Rea TD, Bobrow BJ, Edelson DP, Berg RA, Sayre MR, Berg MD, Chaneides L, O’connor RE, Swor RA. Part 4: CPR overview: (2010) American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardioovascular Care. Circulation.;2010;122(suppl3):S676-S784
17.  American Heart Association (2011). CPR & Sudden Cardiac Arrest (SCA) Fact Sheet, CPR Statistic. Dikutip dari http://www.heart.org/HEARTORG/CPRAndECC/WhatisCPR/CPRFactsandStats/CPR-Statistic_UCM_307905_Article.jsp pada tanggal 16 juni 2016
18.  San Francisco Department of Public Health. Naloxone for Opioid Safety: A Provider Guide to Prescribing Naloxone to Patient Who Use Opioids. January. 2015.